Oleh : Sigit
Dilandasai dengan teori Snouck Hurgronye, bahwa abad ke-13 Islam sudah ada di Indonesia dan tepatnya di Samudra Pasai. Secara tidak langsung Nusantara telah menjadi salah satu pusat keberadaan masyarakat Islam. Disinyalir bahwa Falatehan dilahirkan di Pasai dari lingkungan yang memang dominan dengan Islam. Pada tahun 1521 M, Pasai berada dalam wilayah kekuasaan Portugis (Van Den Berg, 1951: 387), tetapi di dalam buku sejarah Jawa Barat dikatakan bahwa Portugis yang ketika itu mendatangi Pulau Jawa pada 1513 Masehi sebelumnya sudah menaklukan Pasai (Iskandar, 2001: 265). Dan setelah itu Falatehan berniat untuk memperdalam Islam dengan pergi ke Mekkah melaksanakan rukun Iman yang ke lima.
Setelah Falatehan pulang dari Mekkah dia tidak berlabuh di negeri dimana dia dilahirkan, karena wilayah itu berada dalam kekuasaan Portugis. Diapun enggan untuk melihat orang-orang kafir “Portugis”, dan manamungkin Falatehan bisa menyiarkan Islam yang sementara wilayah itu dikuasai oleh musuhnya. Maka Falatehan memutuskan untuk berlabuh di pulau Jawa. Ada beberapa versi yang mengatakan Falatehan berlabuh di Jepara, dan juga mengatakan berlabuh di Demak. Misalkan dalam buku dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia Jilid I, mengatakan bahwa sepulangnya Falatehan dari Mekkah dia langsung bertolak menuju Jepara sebagai kota pelabuhan Demak. Tetapi dalam buku kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Graaf, Pigeaud,1989: 147) mengatakan Nurullah (Falatehan) sebelum datang ke keraton Demak dia sudah menunaikan rukun Islam yang ke 5. Disini juga tidak dijelaskan Nurullah sebelumnya ke Jepara terlebih dahulu atau tidak. Dan dalam buku Banten diriwayatkan oleh salah seorang dari Portugal Joao de Barros mengatakan sepulangnya orang rendahan yang bernama Falatehan dari Mekkah, yang kurang lebih 2 atau 3 tahun berada disana ia menganggap bahwa tidak mungkin dapat mengajarkan Islam di dekat benteng orang Portugis. Oleh karena itu, ia lalu pergi ke Jepara (Guillot, 2008: 33).
Setibanya Falatehan di Demak, dia disambut dengan baik oleh raja Trenggana. Karena beliau menilai sosok Falatehan sebagai orang yang cerdas yang bisa membantu Demak untuk menguasai seluruh tatar Jawa, itu adalah salah satu tujuan dari kerajaan Demak. Disisi lain Falatehan juga mempunyai ambisi ingin memperluas ajaran Islam keseluruh pulau Jawa. Dia beranggapan bahwa dengan membantu kerajaan Demak ini akan menjadi salah satu jalan untuk mempermudah penyebabaran agama Islam.
Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa raja Trenggana berubah nama menjadi Sultan Trenggana akibat pengaruh dari Falatehan. Bahwa sebenarnya gelar Sultan hanya diperuntukan untuk orang-orang Mekkah. Lalu Sultan Trenggana memberikan hadiah kepada Falatehan yaitu saudara perempuannya yang kelak nanti menjadi Istrinya.
Sebenarnya, bahwa perkawinan merupakan salah satu jalur cepat untuk menyebarkan Islam (Yatim, Badri, 2008: 202), apalagi jika pasangannya adalah seorang putri raja atau putri dari keturunan orang terpandang. Hal yang tepat jika Falatehan menikahi saudara perempuan dari Sultan Trenggana, karena jika dia berhasil mengislamkan rajanya maka dengan bebas Falatehan bisa menyebarkan Islam diwilayah itu. Disisi lain status sosial diapun naik, bukan hanya sekedar menjadi penyiar Islam tetapi juga sebagai anggota kerajaan. Lebih-lebih jika dia diberikan kedudukan dalam birokrasi kerajaan, sebagai panglima perang, syahbandar atau adipati. Maka secara tidak langsung pengaruh terhadap masyarakat sekitar sangat besar.
Selanjutnya Falatehan menuju Banten untuk menyiarkan agama Islam lebih luas lagi. Hal ini mendapat tanggapan yang positif dari Sultang Trenggana atau iparnya. Maka di ijinkan Falatehan untuk bertolak ke Banten dengan diiringi prajurit-prajurit dari Demak. Pada permulaan awal Falatehan coba membujuk Gubernur Banten Girang untuk masuk Islam dan ternyata berhasil. Lalu Falatehan juga mendapat ijin untuk menyebarkan ajaran Islam di kota itu. Namun ketika Falatehan mengetahui bahwa ada perjanjian antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis maka dengan sikap yang berani Falatehan mencoba menghalau hubungan itu dengan meminta bantuan Prajurit dari Demak kurang lebih sekitar 2000 prajurit (Van Den Berg, 1951: 388). Dengan direbutnya Banten Girang dan Sunda Kalapa oleh Falatehan yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Pajajaran. Hanya Ibu Kota Kerajaan Pajajaran saja yang tidak diserang oleh Falatehan.
Kendali pemerintahan Banten kemudian diberikan kepada Hasanudin, karena pada saat itu Falatehan diminta oleh utusan dari Demak untuk segera membantu Sultan Trenggana dan bergabung dengan prajurit yang lain dalam penyerangan menaklukan Panarukan di wilayah Timur yang memang kerajaan Blambangan masih merupakan kerajaan Hindu.
Lalu tonggak kekuasaan Banten berikutnya dipegang oleh Maulana Yusuf. pemerintahannya berhasil menaklukan ibu kota kerajaan Pajajaran. Maka wilayah pakuan menjadi daerah kekuasaan Banten, dengan cepat semua wilayah yang berada dalam tonggak kekuasaan Banten menjadi Islam. hanya sekumpulan kecil saja yang tidak terislamkan, yaitu orang Baduy yang diam dipegunungan Banten Selatan, dapat melanjutkan hidupnya yang lama sampai kezaman kita ini (Van den Berg, 1951: 392).
Kondisi Objektif Masyarakat Baduy.
Letak sebuah geografis akan sangat berpengaruh dalam budaya masyarakat setempat. Di Jawa Barat pada umumya merupakan wilayah yang subur, tanahnya dikelilingi gunung-gunung, curah hujan yang lebat, dan sangat memungkinkan ketika menanam tumbuhan akan tumbuh dengan baik. Jawa Barat, yang identik dengan Orang Sunda mempunyai kecenderungan gaya hidup yang sangat sederhana (Low Profile), hal ini tercermin pada masyarakat Kanekes (Baduy) (S. Ekadjati, 1992: 1).
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti asing yang mengkaji tentang kebudayaan Baduy. Yang pertama kali menamakan Masyarakat kanekes Orang Baduy, adalah C.A. Kruseman, seorang peneliti dari Belanda tahun 1889. Menganggap bahwa kata Baduy berasal dari bahasa Arab Badwi, Badaw atau Badu, nama sekelompok orang Arab. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Orang Baduy adalah keturunan dari kerajaan Sunda, pendapat itu dikemukakan oleh Kruesmen dan A.A. Penning. Sementara J. Jacobs dan J. J Meijer mempunyai asumsi bahwa orang Baduy merupakan pelarian dari Banten Utara pada saat pemerintahan Maulana Hasanudin. Tetapi pendapat Kruesmen dan A.A. Penning diperkuat oleh C.M. Pleyte yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pakuan Bogor. Berdasarkan penemuan Arca Domas yang ditemukan di Cikopo (Saringendyanti, Irama Puar, 2009. 196).
Menurut orang Baduy bahwa dunia ini pertama kali tercipta hanya sebesar biji lada, yang semakin lama semakin membesar hingga membentuk bumi. Dunia ini diciptakan oleh Ambu Luhur yang tinggal di Buana Nyungcung (Khayangan). Lalu Ambu Luhur menurunkan Orang Baduy dan Nabi Adam. Yang semula-mula mereka tinggal di Cikeusik, lalu menyebar ke Cikertawana, dan terakhir di Cibeo. Ketiga tempat itu sekarang dipimpin oleh para Puun yang kabarnya adalah keturunan dari Batara (Dewa).
Sasaka Buana yang mengandung arti pusat bumi. Saka berarti pusat, dan buana berarti bumi. Dianggap sebagai daerah suci atau keramat, asal-usul dunia diciptakan. Sementara sasaka domas dianggap suci atau sakral karena daerah itu dianggap sebagai tempat pertama kali leluhur masyarakat Kanekes, Batara Tujuh diturunkan di bumi. Batara tujuh dianggap sebagai leluhur para pimpinan adat Baduy (Puun) (Johan Iskandar, kompas: 25 agustus 2006).
Tempat-tempat di Baduy terkenal dengan berbagai hal yang tabu (larangan). Bahwa stratifikasi di Baduy bukan berasal dari tatanan sosial, keturunan atau kaya dan miskin seperti halnya yang terjadi di Jawa Tengah pada masa Hindu atau Pra-Islam. Stratifikasi di Baduy justru berada pada tingkat kesucian atau ketabuan sebuah tempat. Tempat ini terbagi menjadi tiga pemukiman, yaitu pemukiman baduy dalam, pemukiman baduy luar, dan pemukiman yang berada diluar baduy (Desa Kanekes).
Wilayah Baduy Dalam yaitu, Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Jadi semakin suci atau tabu wilayah tersebut maka semakin tinggi derajat orang yang menempati wilayah-wilayah itu. Cikeusik lebih tabu dari Cikertawana, Cikertawarna lebih tabu dari Cibeo. Dan ciri-ciri dari orang Baduy dalam bisa dilihat dari pakaiannya yang berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih (Saringendyanti Puar, Irama Puar, 2009. 204).
Dari analisis hasil penelitian penulis pada hari selasa, 10 januari 2012: di Desa Kanekes. Bahwa ciri-ciri dari masyarakat Baduy dalam ini memang betul bisa dilihat dari pakaiannya, yaitu salah satu cirinya adalah memakai ikat kepala berwarna putih. Baduy dalam juga dianggap Baduy putih, yang tidak bisa sembarang orang bisa memasuki wilayah yang dianggap lebih suci dari pada Baduy luar yang sudah banyak tercampur oleh budaya asing. Jarak antara Baduy luar dan Baduy dalam sekitar 12 km. Dari Baduy luar menuju jembatan Gajeboh berjarak 4 km, yang dimana jembatan ini sebagai salah satu jalan masuk menuju Baduy putih atau Baduy dalam. Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu penghuni Baduy dalam ketika penulis bertanya apa perbedaan Baduy luar dan Baduy dalam? Dia menjawab salah satu perbedaanya adalah pada tanah yang di huni. Bahwa Baduy putih atau Baduy dalam tanahnya adalah milik bersama, jadi jika ingin bercocok tanam bebas bisa dimana saja. Sedangkan Baduy luar tanah huniannya sudah milik masing-masing.
Daftar Refrensi
De Graaf, Pigeaud. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Tjandrasasmita, Uka. 2000. Kota-Kota Muslim di Indonesia. Kudus: Menara Kudus.
Iskandar, Yoseph. 2001. Sejarah Jawa Barat. Bandung: CV GEGER SUNTEN.
Saringendyanti, Etty Puar, Irama, Wan Puar. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Van Den Berg, Kroeskamp, Simandjoentak. 1951. Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia I. Jakarta.
Guillot, Claude. 2008. Banten. Jakarta: KPG.
Iskandar, Johan. 2006. Hutan Keramat dan Konservasi Alam: Kompas.
S. Ekadjati, Edi. 1992. Rancamaya Situs Sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar